Warning: preg_match(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 8 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 722 Warning: preg_match(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 8 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 722 Warning: preg_match_all(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 4 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 700 Warning: Invalid argument supplied for foreach() in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 701 Warning: preg_replace(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 4 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 705 Warning: preg_match_all(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 4 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 700 Warning: Invalid argument supplied for foreach() in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 701 Warning: preg_replace(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 4 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 705 Warning: preg_match(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 8 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 722 Warning: preg_match_all(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 4 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 700 Warning: Invalid argument supplied for foreach() in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 701 Warning: preg_replace(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 4 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 705 Warning: preg_match_all(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 4 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 700 Warning: Invalid argument supplied for foreach() in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 701 Warning: preg_replace(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 4 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 705 Warning: preg_match_all(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 4 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 700 Warning: Invalid argument supplied for foreach() in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 701 Warning: preg_replace(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 4 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 705 Warning: preg_match_all(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 4 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 700 Warning: Invalid argument supplied for foreach() in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 701 Warning: preg_replace(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 4 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 705 Warning: preg_match(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 8 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 722 Warning: preg_match(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 8 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 722 Warning: preg_match(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 8 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 722 Warning: preg_match(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 8 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 722 Warning: preg_match_all(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 4 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 700 Warning: Invalid argument supplied for foreach() in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 701 Warning: preg_replace(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 4 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 705 Warning: preg_match_all(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 4 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 700 Warning: Invalid argument supplied for foreach() in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 701 Warning: preg_replace(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 4 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 705 Warning: preg_match(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 8 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 722 Warning: preg_match(): Compilation failed: group name must start with a non-digit at offset 8 in /volume1/web/util/wiki/includes/MagicWord.php on line 722 Baju Adat Dan Keindonesiaan Kita - GA

Baju Adat Dan Keindonesiaan Kita

De GA.

m (Page créée avec « Baju Adat dan Keindonesiaan Kita<br><br>Hampir saban th. penduduk menyaksikan "parade" busana rutinitas yang digunakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam perayaan Hari Ulang... »)
m
 
Ligne 1 : Ligne 1 :
-
Baju Adat dan Keindonesiaan Kita<br><br>Hampir saban th. penduduk menyaksikan "parade" busana rutinitas yang digunakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia.<br><br>Sehari sebelum akan upacara tujuh belasan, sementara berpidato di sidang dengan DPD dan DPR RI, Jokowi kenakan baju adat Sasak. Sementara itu, pas kala upacara Hari Ulang Tahun Ke-74 Republik Indonesia (17-8-2019), Jokowi tampil dengan mengenakan busana kebiasaan Bali. Hampir seluruh tamu undangan yang singgah juga berlomba-lomba memakai baju tradisi dari beraneka tempat di Indonesia.<br><br>Pakaian tradisi jadi lambang berkenaan keragaman Indonesia, terdiri atas bermacam suku dan etnis. Dominasi jas dan songkok hitam yang selama ini kerap dijumpai pada upacara-upacara kenegaraan, hari itu tak tampak. Kita melekatkan ide dan wacana lewat sandang. Apa yang kita menggunakan bakal merepresentasikan berasal dari mana kami berasal, bagaimana karakter dan kultur yang dibangun. Karena berbusana adat bermakna mencoba membuktikan eksistensi diri dan sekaligus penguatan berkenaan identitas kebangsaan negeri ini.<br><br>Tak Sekadar Kain<br><br>Baju bukan semata rajutan benang yang menutupi tubuh. Baju jadi benda eksistensial. Baju menunjukkan harga diri. Karena itu, penilaian bakal seseorang kerap dilaksanakan melalui seperangkat pakaian yang dikenakannya. Baju sesudah itu menjadi pengisahan mengenai kaya dan miskin, kota dan desa, serta kuno dan kini.<br><br>Masyarakat Indonesia memasang sandang pada kronologis pertama, diikuti pangan dan papan. Hal itu bermakna bahwa pakaian adalah pemuliaan tentang kebijaksanaan hidup, menempatkan manusia sebagai "manusia", membedakan diri bersama makhluk lain. Tradisi lantas memberi tambahan penekanan perihal arti sandang atas nama busana adat.<br><br>Baju rutinitas melekatkan dirinya bersama simbol-simbol dan nilai-nilai yang hakiki. Persoalan warna, bahan, dan jahitan bukanlah moment yang sepele, tetapi condong kompleks dan rigid. Kekompleksan dan kerigidan itu adalah hasil akumulatif berasal dari perenungan dan pengembaraan arti yang panjang.<br><br>Karena itu, berbaju adat menumbuhkan kebanggan dan kecintaan. Kita dipersatukan melalui busana adat yang kita [http://www.papankurs.com/ deposit slot pakai pulsa telkomsel tanpa potongan]. Sekat-sekat dan batas pada kaya-miskin serta tinggi-rendah, oposisi-koalisi, menjadi hilang. Dengan berbaju adat, seluruh setara dan seimbang. Tidak tersedia kalah-menang, superior-inferior, besar-kecil.<br><br>Hal itu sekaligus mendekonstruksi pandangan kaum kapitalis yang menempatkan pakaian sebagai pemujaan bakal modernitas. Baju-pakaian atas nama zaman tetap berubah, dari wujud dan gaya. Masyarakat mengikuti agar tidak dikata ketinggalan zaman, katrok, udik, dan ndeso.<br><br>Namun, sejatinya semua lagi terhadap masalah hitung-hitungan untungkan rugi yang kapitalistik. Model, gaya, dan bentuk sengaja dilahirkan demi pamrih kapital. Wacana dan stereotipe dibangun lewat baju. Kita sesudah itu memberi tambahan dikotomi pada yang pantas dan tak pantas untuk dipakai.<br><br>Di balik ingar bingar baju-baju baru, kita seringkali meremehkan busana adat sebagai sebuah pewarisan tradisi. Bahkan, tak jarang baju kebiasaan berhadapan bersama dengan beraneka penilaian yang cenderung merendahkan, berkonotasi negatif, kuno, terbelakang. Memakainya menghidupkan rasa minder dan malu. Sama bersama dengan musik tradisi, memainkannya melahirkan cibiran dan sindiran.<br><br>Karena itu, kenakan baju kebiasaan dalam beragam seremonial dan upacara kenegaraan (terutama hari kemerdekaan lebih dari satu tahun belakangan) adalah sebuah harapan baru bagi nasib hidup baju-baju adat di negeri ini supaya tak melulu diakui berpamit mati. Setidaknya, berbaju adat memberi tambahan teladan bernilai bagi generasi (milenial) negeri ini. Berbaju rutinitas bisa beri tambahan penyegaran didalam kemonotonan berbusana saban hari.<br><br>Selama ini nasib hidup pakaian tradisi semata hanya jadi gugusan wacana dan inspirasi bagi para desainer, sehingga rancangannya dianggap eksentrik dikarenakan berbasis tradisi. Baju tradisi berpendar didalam wacana, tetapi tak dapat tampil secara imanen alias mandiri.<br><br>Tak ada salahnya pula jikalau dapat dibentuk hari busana adat nasional, di mana setiap orang dengan berbagai latar suku dan etnis memakai baju tradisi versi mereka. Hal yang lebih mutlak adalah menggelorakan wacana dan analisis baru, bahwa berbaju rutinitas adalah sebuah kebanggan diri.<br><br>Dalam deklarasi itu, kita melihat parade baju rutinitas dipertontonkan. Tradisi beri tambahan penguatan untuk makin menumbuhkan kecintaan bagi Indonesia. Hal tersebut juga jadi semacam oase di pas akhir-akhir ini gejolak menentang pluralisme gencar terjadi. Paham-paham radikal yang mengusahakan menyeragamkan manusia Indonesia bermunculan, apalagi sering mengfungsikan agama sebagai kedok.<br><br>Oleh dikarenakan itu, memperlihatkan kekayaan kebiasaan yang kami memiliki menjadi detoksifikasi atas semua itu. Perayaan hari kemerdekaan adalah fasilitas aktualisasi untuk ulang mengingatkan perihal arti mutlak perbedaan.<br><br>Bukankah kebudayaan nasional dibangun berasal dari puncak-puncak kebudayaan area yang berbeda itu? Berbaju adat, bermusik tradisi, berbahasa daerah, adalah sebentuk penghargaan bagi Indonesia dalam menjaga marwah keindonesiaan kami di hari ini.
+
Baju Adat dan Keindonesiaan Kita<br><br>Hampir saban tahun masyarakat lihat "parade" baju adat yang digunakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di dalam perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia.<br><br>Sehari sebelum saat upacara tujuh belasan, kala berpidato di sidang dengan DPD dan DPR RI, Jokowi Mengenakan baju tradisi Sasak. Sementara itu, pas sementara upacara Hari Ulang Tahun Ke-74 Republik Indonesia (17-8-2019), Jokowi tampil bersama mengenakan baju adat Bali. Hampir semua tamu undangan yang mampir juga berlomba-lomba memakai baju tradisi berasal dari berbagai daerah di Indonesia.<br><br>Pakaian adat jadi simbol tentang keragaman Indonesia, terdiri atas beraneka suku dan etnis. Dominasi jas dan songkok hitam yang sepanjang ini kerap dijumpai pada upacara-upacara kenegaraan, hari itu tak tampak. Kita melekatkan inspirasi dan wacana lewat sandang. Apa yang kita gunakan akan merepresentasikan berasal dari mana kami berasal, bagaimana karakter dan kultur yang dibangun. Karena berbusana adat artinya coba tunjukkan eksistensi diri dan sekaligus penguatan tentang identitas kebangsaan negeri ini.<br><br>Tak Sekadar Kain<br><br>Baju bukan semata rajutan benang yang menutupi tubuh. Baju jadi benda eksistensial. Baju menunjukkan harga diri. Karena itu, penilaian bakal seseorang kerap dikerjakan melalui seperangkat pakaian yang dikenakannya. Baju sesudah itu jadi pengisahan mengenai kaya dan miskin, kota dan desa, serta kuno dan kini.<br><br>Masyarakat Indonesia menempatkan sandang terhadap urutan pertama, [https://sites.google.com/view/microdosingpsychedelics/home situs slot deposit pulsa tanpa potongan] diikuti pangan dan papan. Hal itu berarti bahwa busana adalah pemuliaan tentang kebijaksanaan hidup, menempatkan manusia sebagai "manusia", membedakan diri bersama dengan makhluk lain. Tradisi sesudah itu memberi tambahan penekanan perihal arti sandang atas nama pakaian adat.<br><br>Baju adat melekatkan dirinya bersama dengan simbol-simbol dan nilai-nilai yang hakiki. Persoalan warna, bahan, dan jahitan bukanlah momen yang sepele, namun condong kompleks dan rigid. Kekompleksan dan kerigidan itu adalah hasil akumulatif dari perenungan dan pengembaraan arti yang panjang.<br><br>Karena itu, berbaju tradisi menumbuhkan kebanggan dan kecintaan. Kita dipersatukan lewat busana tradisi yang kita pakai. Sekat-sekat dan batas pada kaya-miskin serta tinggi-rendah, oposisi-koalisi, jadi hilang. Dengan berbaju adat, seluruh setara dan seimbang. Tidak tersedia kalah-menang, superior-inferior, besar-kecil.<br><br>Hal itu sekaligus mendekonstruksi pandangan kaum kapitalis yang memasang pakaian sebagai pemujaan akan modernitas. Baju-pakaian atas nama zaman selamanya berubah, berasal dari wujud dan gaya. Masyarakat mengikuti sehingga tidak dikata ketinggalan zaman, katrok, udik, dan ndeso.<br><br>Namun, sejatinya seluruh ulang pada persoalan hitung-hitungan menguntungkan rugi yang kapitalistik. Model, gaya, dan bentuk sengaja dilahirkan demi pamrih kapital. Wacana dan stereotipe dibangun lewat baju. Kita kemudian beri tambahan dikotomi antara yang pantas dan tak pantas untuk dipakai.<br><br>Di balik ingar bingar baju-baju baru, kami seringkali mengabaikan busana adat sebagai sebuah pewarisan tradisi. Bahkan, tak jarang pakaian kebiasaan berhadapan bersama bermacam penilaian yang cenderung merendahkan, berkonotasi negatif, kuno, terbelakang. Memakainya memunculkan rasa minder dan malu. Sama dengan musik tradisi, memainkannya melahirkan cibiran dan sindiran.<br><br>Karena itu, Mengenakan baju adat dalam beraneka seremonial dan upacara kenegaraan (terutama hari kemerdekaan beberapa th. belakangan) adalah sebuah harapan baru bagi nasib hidup baju-baju adat di negeri ini agar tak melulu diakui berpamit mati. Setidaknya, berbaju rutinitas menambahkan teladan bernilai bagi generasi (milenial) negeri ini. Berbaju rutinitas bisa memberi tambahan penyegaran di dalam kemonotonan berbusana saban hari.<br><br>Selama ini nasib hidup baju adat semata hanya jadi gugusan wacana dan ide bagi para desainer, supaya rancangannya diakui eksentrik gara-gara berbasis tradisi. Baju rutinitas berpendar di dalam wacana, namun tak sanggup tampil secara imanen alias mandiri.<br><br>Tak ada salahnya pula jika mampu dibentuk hari pakaian rutinitas nasional, di mana setiap orang bersama dengan beraneka latar suku dan etnis memakai baju kebiasaan versi mereka. Hal yang lebih mutlak adalah menggelorakan wacana dan kesimpulan baru, bahwa berbaju tradisi adalah sebuah kebanggan diri.<br><br>Dalam deklarasi itu, kami melihat parade baju kebiasaan dipertontonkan. Tradisi memberikan penguatan untuk makin lama menumbuhkan kecintaan bagi Indonesia. Hal selanjutnya juga jadi semacam oase di waktu akhir-akhir ini gejolak menentang pluralisme gencar terjadi. Paham-paham radikal yang mengusahakan menyeragamkan manusia Indonesia bermunculan, lebih-lebih sering memanfaatkan agama sebagai kedok.<br><br>Oleh gara-gara itu, perlihatkan kekayaan tradisi yang kita memiliki menjadi detoksifikasi atas seluruh itu. Perayaan hari kemerdekaan adalah sarana aktualisasi untuk kembali mengingatkan mengenai makna mutlak perbedaan.<br><br>Bukankah kebudayaan nasional dibangun dari puncak-puncak kebudayaan area yang berlainan itu? Berbaju adat, bermusik tradisi, berbahasa daerah, adalah sebentuk penghargaan bagi Indonesia dalam melindungi marwah keindonesiaan kami di hari ini.

Version actuelle en date du 10 septembre 2022 à 00:46